TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Keteladanan Tumenggung Surontani Diapresiasi Komunitas BunDar dalam Sarasehan Dan Kethoprak

Jatim Aktual Tulungagung,|KETOKOHAN Tumenggung Surontani yang makamnya di Desa Wajak, Kec. Boyolangu, Tulungagung diapresiasi oleh Komunitas BunDar (mBulan nDadari) Tulungagung melalui kegiatan sarasehan dan kethoprak dengan lakon Banjaran Tumenggung Surontani di Lotus Garden Tulungagung, Senin malam (6/3).

 

Sedang tema sarasehan Keteladanan Tumenggung Surontani, Perspektif Budaya lan Ketahanan Pangan. Tumenggung Surontani sebagai utusannya Sultan Agung, Raja Mataram, di kawasan Brang Wetan dengan misi mewujudkan lumbung pangan untuk mencukupi kebutuhan rakyat Mataram dan terutama untuk memenuhi kebutuhan prajurit Mataram yang dipimpin Tumenggung Surontani menyerang panjajah Walanda yang sudah menguasai Batawi (Batavia).
Keynote Speaker (nara sumber utama) sarasehan yaitu Laksamana Muda (purn) Harry Yuwono sekaligus owner Lotus Garden Tulungagung. Nara sumber antara lain yaitu Agus Utomo, S.Kep (Abdi dalem Kraton Ngayogyakarta), Timour S.P M.Agr (Ketua Umum DPP Presidium Penyuluh Pertanian Indonesia) dan Laksma (purn) Hadi Santoso.

Para Pamain Pentas ketoprak berfoto bersama seusai pementasan.

 

Membuka sarasehan, Laksda (purn) Harry Yuwono menandaskan mengenai pentingnya mengangkat ketokohan dan keteladanan Tumenggung Surontani yang waktu itu dikenal sebagai Wali Tani lantaran bisa mewujudkan lumbung pangan untuk memenuhi kabutuhan para rakyat Mataram, terutama untuk memenuhi kebutuhan makan prajurit yang akan menyerang penjajah Belanda di Batavia yang dipimpin Tumenggung Surontani. Penguasa Belanda saat itu Gubernur Jenderal JP Coen.

 

Tumenggung Surontani itu merupakan pahlawan pada era Sultan Agung berkuasa karena bisa mewujudkan lumbung pangan dan bisa mengalahkan Gubernur Jenderal Belanda JP (Joen Pieters) Coen. Tapi sayangnya nama Tumenggung Surontani tersebut masih kurang populer di Tulungagung sendiri, terbukti tidak ada nama Jalan Tumenggung Surontani di Tulungagung, kata Bapa Harry Yuwono.

 

Setelah itu dilanjutkan Sarasehan mengenani Keteladanan Tumenggung Surontani, Perspektif Budaya lan Ketahanan Pangan yang dipandu moderator Anang Prasetyo. Narsum Agus Utomo, S.Kep (Abdi dalem Kraton Ngayogyakarta) dalam kesempatan itu lebih banyak mengupas tentang sosok Tumenggung Surontani sebagai utusan Sultan Agung, Raja Mataram.

 

Tumenggung Surontani yang nama aslinya Raden Arya Kusuma di Katumenggungan Wajak (sekarang Desa Wajak, Kec. Boyolangu, Tulungagung) yaitu merupakan Tumenggung dari Mataram berdasarkan Surat Kekancingan dari Mataram yang dibawa trah Tumenggung Surontani. Lalu dilanjutkan putranya, Tumenggung Raden Kartayuda yang dimakamake di Gunung Budheg Desa Tanggung.

 

Tumenggung Surontani (Raden Arya Kusuma) itu putranya Panembahan Mayem atau Ki Juru Kiting Mataram, yaiku seorang pemimpin yang memimpin melawan perang VOC Belanda dengan mempersatukan Jawa dan menaklukkan Madura pada tahun 1620-1621 dan tahun 1624.

 

Diceritakan oleh Agus bahwa perjuangan Tumenggung Surontani melawan VOC Belanda akhirnya mengalami kemenangan dengan memenggal kepala Gubernur Jenderal Belanda JP Coen yang dihadapkan kepada Sultan Agung di Mataram. Setelah itu kepala JP Coen ditanam di anak tangga di makam para Raja Imogiri nomer 570-an.

 

Selanjutnya narsum Timour S.P M.Agr (Ketua Umum DPP Presidium Penyuluh Pertanian Indonesia) yang menceritakan mengenai asal-usul ilmu pertanian yang dimiliki oleh Tumenggung Surontani. Ilmu pertanian tersebut diwariskan dari eyangnya Ki Juru Martani, sedang Ki Juru Martani dari gurunya Sunan Kalijaga. Dan, Sunan Kalijaga sendiri belajar kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Wali Sanga yang melakukan syiar dakwah di daerah Gresik. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Serat Walisana (artinya Wali Sanga) dari Kraton Surakarta bahwa ilmu pertanian itu awalnya dimiliki oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang pernah belajar ilmu pertanian dari Mesir dengan memanfaatkan Sungai Nil.

 

Selanjutnya Syekh Maulana Malik Ibrahim menyebarkan ilmu tersebut ketika syiar dakwah di daerah Gresik. Hasil pertanian yang dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim saat itu kemudian untuk menyuplai kebutuhan pangan di Majapahit saat terjadi Perang Paregrek, perang saudara di Majapahit pasca kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk.

Begitu pentingnya ketahanan dan kedaulatan pangan, maka dalam perang ada the last battle (pertempuran terakhir) seperti dikatakan para pengamat militer Barat yaitu mengenani rebutan bahan pangan (logistik), ujar Timour mengenai pentingnya mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, apa lagi daerah kita kita dikenal gemah ripah loh jinawi.
Narsum terakhir Laksma (purn) Hadi Santoso lebih mengarahkan pada potensi lain, yaitu mengenai potensi laut atau samudera kita yang sebenarnya lebih luas daripada potensi sawah ladang kita. Kalau hasil tanah (bumi) merupakan karbohidrat, tapi kalau hasil laut merupakan protein.

 

Ada ungkapan “asam di gunung, garam di laut bertemu di belanga atau padi di ladang, ikan di laut bertemu di belanga yang disitir Bapa Hadi Santoso, tetapi apakah hal itu sudah terjadi di tengah-tengah masyarakat kita? Selain lahan pertanian yang semakin menciut, kita sebenarnya juga memiliki potensi wilayah laut yang lebih luas daripada tanah untuk masa depan. Hasil dari laut merupakan sumber protein yang baik untuk manusia.

 

Setelah sarasehan dilanjutkan pagelaran kethoprak dengan lakon Banjaran Tumenggung Surontani yang dimainkan para seniman/budayawan Tulungagung pimpinan Maryadi alias Mas Broto dari Besole, Besuki. Kethoprak diiringi krawitan Ngesthi Laras pimpinan Ki Handaka alias Kaka. (WS)

 

Editor: Sugeng hariya